Menyoal Perjanjian Najran: Jawaban Atas Prof Quraish Shihab

Validitas naskah perjanjian Najran dipersoalkan sejumlah peneliti.

Oleh : Ahmad Biyadi, Wakil Rektor I Institut Agama Islam Al-Qolam Malang Jawa Timur.

Dalam sebuah video yang tersebar di berbagai media sosial, Prof Quraish Shihab menyampaikan sebuah naskah perjanjian Nabi Muhammad SAW dengan Nashara Najran. 

Pada naskah tersebut terdapat poin-poin jaminan Nabi SAW bagi mereka. Sebagian di antaranya dianggap aneh, karena berseberangan dengan ajaran agama yang dipahami masyarakat dari berbagai mazhab fikih, seperti pernikahan dengan wanita beragama Kristen.

Pernikahan semacam ini berbeda dengan penjelasan Alquran surat Al Baqarah [2]: 221, yang melarang menikah dengan orang musyrik. Ini menyebabkan kontroversi, utamanya naskah tersebut dinilai berasal dari Nabi SAW, yang tentunya berdampak besar pada rumusan ajaran Islam. Karena andaikan naskah perjanjian pada tahun 10 hijriyah itu benar, ayat pelarangan menikah dengan orang musyrik yang turun tahun 3 hijriyah menjadi terhapuskan (nasakh), atau minimal terspesifikasi (takhsis). 

Sebelum bicara tentang implikasi naskah tersebut pada ajaran Islam, alangkah baiknya naskah itu diuji terlebih dahulu validitasnya. Itu karena nasakh maupun takhsis pada Alquran harus berdasarkan data yang teruji valid. Mekanisme uji validitas dalam Islam setidaknya ada dua cara. Pertama, uji sanad yang dikenal dengan metode jarh wa ta’dil. Ini biasanya digunakan dalam studi hadits. 

Kedua, uji dokumen dengan menelusuri naskah-naskah kuno dan membandingkannya dengan data sejarawan lain. Pada tulisan ini penulis merujuk pada komentar dua sejarawan peneliti naskah, yaitu Muhammad Humaidillah dan Ali al-Ahamdi yang mencantumkan kedua naskah tersebut di bukunya, beserta komentar masing-masing.

Perjanjian Najran merupakan sebuah dokumen jaminan (ahdname) surat perjanjian (testamentum) yang diratifikasi Nabi Muhammad SAW, ditulis oleh sahabat, berisikan jaminan perlindungan hak-hak, bebas wajib militer, bebas pajak, serta hak dilindungi bagi Biarawan dan Penganut Kristen jauh dan dekat, yang hidup dalam kekuasaan umat Islam.

Pada dasarnya terdapat beberapa naskah tentang perjanjian Najran. Yang dikutip Prof Quraish adalah dua naskah perjanjian yang terdapat di Pratologia Orientalis. Dua naskah tersebut yang asli sudah tidak ada, tetapi beberapa salinan masih ada di Biara Santa Katarina. 

Naskah asli hilang saat Kekaisaran Ottoman menyerang Mesir pada 1517 atas perintah sultan Selim I, naskah asli diambil dari biara tersebut oleh tentara Ottoman dan dibawa ke istana Selim di Istanbul. [Lihat: Lafontaine-Dosogne, Le Monastère du Sinaï: creuset de culture chrétiene (Xe-XIIIe siècle), p. 105. ]   

Salinannya kemudian dibuat untuk mengganti kehilangannya di biara tersebut. Naskah tersebut ditemukan dalam dua naskah. (Lihat: Ratliff, The monastery of Saint Catherine at Mount Sinai and the Christian communities of the Caliphate.)

Naskah pertama berupa naskah perjanjian (‘ahd) berisikan jaminan dari Nabi Muhammad saw, kronologi jaminan, sifat-sifat kaum Nashara yang tidak memerangi Umat Islam, serta permintaan kaum Nashara kepada Nabi SAW untuk mengukuhkan jaminannya dalam dokumen. Naskah kedua berupa naskah catatan (sijil), berisikan bentuk-bentuk jaminan atas hak-hak yang diberikan pada kaum Nashara.  

Akan tetapi Prof Muhammad Humaidillah, peneliti naskah-naskah Islam asal India menelusuri dan hanya menemukan naskah-naskah tersebut di Pratologia Orientalis.

Humaidillah memberikan catatan bahwa naskah tersebut dibuat-buat. Dia menyatakan, “Tidak ditemukan keraguan bahwa dua teks tersebut dari maudhu’at.” (Lihat: Muhammad Humaidillah, Majmu’ah al-Watsaiq li al-Ahd an-Nabawi wa al-Khulafa ar-Rasyidin, Naskah No  96 dan 97 (Beirut: Dar Nafais, 1987) hal 180.) 

Ali Al Ahmadi, yang juga peneliti naskah-naskah Islam dalam Makatib ar-Rasul SAW, dia pun menyebutkan dua naskah ini. Sebelum dia menyebutkan isi dari dua naskah, dia mengatakan, “Saya menampilkan dua naskah tersebut dari kitab Watsaiq, selain karena penulisnya menyebutnya sebagai maudhu’at, juga adanya konteks penulisan yang janggal.”

Di akhir, setelah mengutip dua naskah itu, Ali al-Ahmadi juga menulis, “Saya menampilkan dua naskah ini – meski keduanya janggal – agar buku ini tidak kurang dalam menampilkan naskah-naskah yang dinisbatkan pada Rasulullah SAW, serta agar jelas bagi para pengkaji sejarah bahwa dua naskah tersebut janggal.”

Kemudian Ali al Ahmadi menjelaskan ada delapan catatan mengapa dua naskah tersebut janggal, di antaranya:  

1. Para pengkaji naskah Nabi SAW dan menggelutinya secara mendalam serta memahami gaya bahasa (uslub) Rasulullah SAW dalam menyusun redaksi akan tahu bahwa dua naskah tersebut tidak sesuai dengan gaya bahasa beliau (seperti yang saya urai di mukadimah).

Dua naskah tersebut justru lebih mirip dengan gaya bahasa Dinasti Umawiyah akhir dalam tathwil (berlantur-lantur) dan ishab (tidak lugas), serta ada pengaruh gaya ‘ajami (non-Arab) di dalamnya yang dapat diketahui oleh pengkaji bahasa Arab Jahiliyah dan awal Islam

2. Dua naskah tersebut hanya ada di Pratologia Orientalis (مجموعة تأليفات الآباء الشرقيين) dan tidak pernah dikutip dalam catatan sejarah manapun 

3. Pemosisian kaum Nashara dalam naskah tersebut memunculkan keraguan. Hal itu karena dalam naskah itu seolah Kaum Nashara meminta balas budi dari bantuan dan pertolongan yang pernah diberikan pada Umat Islam, khususnya oleh Nashara Najran dan sekitarnya. Hal itu bertentangan dengan sejarah.

Harits bin Abi Syamr al-Ghassani (Pemimpin Gassan) yang bersekongkol dengan Romawi justru terang-terangan memerangi Nabi SAW, bahkan dia yang membunuh Farwah bin Amr al-Judzami (salah satu sahabat Nabi SAW). Selain itu Nashara Najran menolak masuk Islam hingga mengucapkan sumpah mubahalah dan lebih membayar jizyah.

Dari hal itu, dimana letak pertolongan dan bantuan yang disebutkan di dalam naskah, hingga mereka berhak meminta balas budi

4. Pada naskah pertama ungkapan negatif pada Kaum Yahudi sangatlah keras hingga seperti cacian. Padahal tidak semua Kaum Yahudi memusuhi Islam. Yahudi Yaman justru membantu dan bahkan masuk Islam. Cacian sekeras itu jelas memunculkan keraguan 

5. Redaksi pada naskah pertama menunjukkan ada perjanjian antara Nabi SAW dan Kaum Nasrani sebelumnya. Padahal tidak ada catatan sejarah menunjukkan tidak pernah ada perjanjian semacam itu sebelumnya 

6. Ungkapan pada naskah kedua yang berbunyi “meski seorang Nashara melakukan kejahatan” (وان أجرم احد من النصارى) dan “dan ketika mereka butuh untuk membangun gereja” (ولهم ان احتاجوا الى مرمة بيعهم). Dua ungkapan ini jelas memunculkan keraguan 

7. Pada naskah kedua ada rentetan nama sebagai berikut: ‘Atiq kemudian Umar kemudian Usman kemudian Ali. Urutan ini mengindikasikan bias Bani Umayah, karena Ali bin Abi Thalib lebih mulia dari Atiq 

Juga pada naskah itu disebutkan ada nama-nama Sahabat yang tidak mungkin ada. Perjanjian tersebut terjadi pada tahun 10 hijriyah. Saad bin Muadz wafat tahun ke-4, Jakfar bin Abi Thalib wafat syahid tahun 8 hijriyah di Mu’tah. Abdullah bin Zaid bin Tsabit juga disebutkan, padahal ayahnya (Zaid) adalah sahabat kecil, apalagi putranya (Abdullah). Bagaimana mungkin dia termasuk saksi dari perjanjian itu yang dilakukan tahun 10 H.

Juga ada beberapa nama sahabat yang tidak ditemukan dalam sejarah, seperti Ammar bin Madz’un, Tsumamah bin Qays, Abul Ghaliyah, dan Abdullah bin Khafaf.

8. Pada bagian awal di Patrologis Orientalis disebutkan: “Dia (Nabi saw) ditaati ahli Yaman kemudian memerangi ahli Makkah”. Catatan sejarah menyatakan bahwa Nabi saw justru ditaati penduduk Yatsrib, lalu memerangi Mekah, kemudian ahli Yaman masuk Islam setelah penaklukan Makkah. (Lihat: Ali al-Ahmadi, Makatib ar-Rasul SAW (Darul Hadits as-Saqafiyah, 1419 H), Juz 3, hal 180-182)

Berdasarkan informasi di atas, dapat disimpulkan redaksi pada perjanjian Najran yang terdapat pada video memiliki kejanggalan, baik terkait isi, gaya bahasa, maupun data sejarah. 

Perjanjian Najran sejatinya memang terjadi, tetapi redaksi perjanjian pada dua naskah di video tidaklah valid. Redaksi perjanjian Najran yang lebih valid dan tercantum di berbagai referensi sejarah tidak berisikan poin-poin tentang pernikahan atau bantuan dalam membangun gereja. 

Redaksi perjanjian Najran yang valid, selain disampaikan oleh dua peneliti di atas, juga terdapat di: al-Amwal karya Ibnu Zanjawaih, Imta’ al-Asma’ karya al-Muqrizi, al-Ya’qubi, al-Kharaj karya Ibnu Qudamah, an-Nihayah karya Ibnu Atsir, al-Kharaj karya Abu Yusuf, Kitab al-Amwal karya Abi Ubaid, Sirah karya Ibnu Sayidinnas, Futuh al-Buldan karya al-Baladziri, Zad al-Mi’ad karya Ibnul Qayim, al-Watsaiq as-Siyasiyah al-Yamaniyah karya Muhammad bin Ali al-Akwa’, al-Faiq karya az-Zamakhsyari, dan beberapa referensi lainnya.

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Utsman bin Affan r.a. dan para istrinya

Kontroversi hadits puasa dan sedekah

Pembahasan tentang Nur Muhammad