Dzikir Berjama’ah Setelah Shalat

Selama ini kita selalu dihadapkan dengan pandangan bahwa dzikir berjamaah adalah bid'ah. Padahal terdapat riwayat shahih yang justru dinafikan (ditinggalkan), yaitu : 

حَدَّثَنَا ‌إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا ‌عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ: أَخْبَرَنَا ‌ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي ‌عَمْرٌو: أَنَّ ‌أَبَا مَعْبَدٍ، مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ: أَنَّ ‌ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ: أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ، كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ.

Sesungguhnya Ibnu Abbas RA memberitahu pelayannya yang bernama Abu Ma’bad, ia berkata: Bahwa mengerasakan suara dalam berdzikir ketika orang-orang selesai shalat maktubah itu sudah ada pada masa Nabi SAW. Ibnu Abbas berkata: Saya mengetahui bahwa mereka telah selesai melaksanakan shalat ketika saya mendengarnya. (Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, 1, 168, No. 841).

وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ الوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الْإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّيَاءَ أَوْ تَأَذَّى المُصَلُّونَ أَوْ النَّائِمُونَ وَالْجَهْرُ أَفْضَلُ فِى غَيْرِ ذَلِكَ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيهِ أَكْثَرُ وَلِأَنَ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِينَ وَلِأَنَّهُ يُوقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيَطْرِدُ النَّوْمَ وَيَزِيدَ فِى النَّشَاطِ (أبو الفداء إسماعيل حقي، روح البيان، بيروت-دار الفكر، ج، ٣، ص. ٣٠٦)

Imam al-Nawawi mengkompilasi antara hadits-hadits yang menganjurkan berdzikir dengan suara lantang dan hadits-hadits yang menganjurkan berdzikir dengan suara lirih; bahwa berdzikir dengan suara lirih lebih utama sekiranya dapat menutupi riya dan mengganggu orang salat atau orang tidur, sedangkan berdzikir dengan suara lantang lebih utama pada selain dua kondisi tersebut karena dapat lebih banyak mengandung amal baik, dapat memberikan pengaruh kepada pendengarnya, dapat mengingatkan hati orang yang berdzikir, dapat memfokuskan perenungan terhadap dzikir tersebut, mengarahkan pendenganrannya kepada dzikir, menghilangkan kantuk, dan menambah semangat. (Abu al-Fida’ Isma’il Haqqi al-Istanbuli, Ruh al-Bayan, 3, 306).

Imam Abu Ishaq asy Syathibi rahimahullah berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak selalu mengeraskan doa dan dzikir setelah shalat. Beliau tidaklah menampakkannya kepada orang banyak selain pada tempat-tempat ta’lim (pengajaran)”. Al I’tisham, 1/351, dinukil dari al Qaulul Mubin fii Akh-thail Mushallin, hlm. 304.

Pandangan ibnu abbas diatas adalah pandangan yang umum, justru menjadi patokan bahwa dzikir berjamaah itu sebagai tanda bahwa sholat telah usai. Adapun pandangan kedua (imam nawawi), lebih mengutamakan dzikir dengan keras untuk diambil kebaikannya (sisi syi'ar), fokus (khusyu'), menghilangkan kantuk dan menambah semangat. Sedangkan pandangan ketiga (imam asy syathibi), berpandangan bahwa dzikir berjamaah dapat dibenarkan dalam kerangka ta'lim (mengajari) umat (terutama yang awam) pada lafadz-lafadz dzikir ba'da (setelah) sholat tersebut. Wallahu a'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Utsman bin Affan r.a. dan para istrinya

Kontroversi hadits puasa dan sedekah

Pembahasan tentang Nur Muhammad