Membuka aib seorang muslim
oleh : Abu Mahdi Ibn Ibrahim.
Abu Hurairah radhiyallahu anhu Berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda :
لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
(Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba lainnya di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak....) (HR : Muslim No. 2590)
memaknai hadits semacam ini, tidak bisa secara umum (general) karena ada syarah (penjelasannya) dan ada pula takhshish (pengkhususannya). yaitu bahwa aib tersebut adalah menyangkut masalah pribadi orang tersebut, tidak berhubungan dengan orang lain. seperti dia tukang mabuk, tapi di rumahnya sendiri, tertutup. paling2 yang tahu cuma keluarga dekat dan tetangganya. maka terhadap hal ini, keluarga dan tetangga yang tahu wajib menutupinya seraya berkewajiban pula mendoakan dia dapat hidayah dan menjadi lebih baik. lain halnya ketika dia mabuk2an di tempat umum, maka sudah beda perlakuannya. karena dia sendiri membuka aibnya. demikian pula seseorang yang hobinya nonton film porno misalnya. itu adalah aib. manakala dia nonton hanya dengan kalangan terbatas, maka yang tahu itu wajib menutupinya. tapi kalau dia sendiri mengumumkan kepada publik bahwa saya adalah penggemar film porno, maka justru wajib bagi kita untuk mencela kebobrokannya. demikian pula seorang pezina yang ia berzina sembunyi2 semata2 melampiaskan hasrat nafsunya. ini jelas dosa besar. tetap yang tahu wajib menutupinya karena itu masalah pribadi dia. tapi ketika dia koar2 bangga dengan zinanya, wajib kita cela, kita jauhi karena itu sudah menjadi penyakit masyarakat.
Orang2 yang melakukan perbuatan dosa, kesalahan, secara personal dan tidak merugikan orang lain, juga tidak disebar2kan, orang semacam inilah yang berhak mendapatkan doa kita, untuk memperoleh petunjuk dari Allah agar kembali ke jalan yang benar.
tapi manakala sudah menyangkut hubungan dengan pihak lain, bahkan sebagian ulama mewajibkan bagi yang tahu untuk menjelaskan agar orang lain tidak menjadi korban berikutnya dari aib (baca : kesalahan, keburukan, dosa) orang itu. contoh sederhananya adalah ada orang yang hobinya ngemplang kalau utang, maka orang yang tahu wajib memberitahu yang tidak tahu agar tidak menjadi korban berikutnya. ketika memberi tahu keburukan ngemplang orang itu, tidak dapat dimaknai bahwa ia membongkar aib orang itu. demikian pula secara lebih makro (maksudnya yang efeknya lebih besar), ketika seorang pemimpin berbohong, menipu, dan merugikan rakyatnya (orang yang dipimpinnya) baik itu pejabat eksekutif, legislatif maupun yudikatif, maka wajib bagi para dai, ulama (orang yang tahu) untuk menyampaikan peringatan kepada umat yang awam (baca : tidak tahu) agar tidak memilihnya lagi sebagai pemimpin. Di lain sisi, perlu pula ditegakkan upaya amar ma'ruf nahi mungkar dengan mengingatkannya (sesuai kemampuan, baik dengan tangan, lisan atau minimal hati).
untuk orang2 seperti ini, tidak berlaku hukum didoakan sebagaimana orang pertama yang melakukan dosa (aib) secara personal dan tidak melibatkan orang lain (tidak pula koar2). bagi mereka wajibnya bukan didoakan, tapi dicegah kemungkaran (aib) nya sesuai kemampuan, sesuai bab amar ma'ruf nahi mungkar.
ini adalah suatu bentuk keadilan, menempatkan sesuatu sesuai tempat dan kebutuhannya. ketika wajibnya ditutup aibnya dan didoakan maka berlaku cara seperti itu. namun ketika wajibnya dicegah dan dihilangkan aib itu, maka berlaku pula cara seperti itu. tidak bisa digeneralisir (disamakan) semua perlakuannya.
demikian penjelasan singkat ini, semoga menjadi penjelas atas kerancuan yang ada. wallaahu a'lam.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan sampaikan komentar anda terhadap postingan (tulisan) ini. Terima kasih